Pulau Giligenting adalah salah satu
pulau yang terdapat di Kabupaten Sumenep dan termasuk dalam wilayah kecamatan
Giligenting. Di pulau Giligenting terdapat empat Desa, yaitu Desa Bringsang,
Aengnganyar, Gedugan, dan Galis. Pada masa sekarang ini keadaan masyarakat
Giligenting tersebut banyak yang mengadu nasib ke kota-kota besar guna untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keadaan tersebut berawal sekitar
tahun 1990-an sampai sekarang, proses tersebut menghasilkan banyak
perubahan-perubahan khususnya perubahan sosial pada kehidupan masyarakat
Giligenting.
Perubahan sosial merupakan gejala umum yang
terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai
dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan
perubahan.Perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan
pola budaya dalam suatu masyarakat.budaya terjadi karena beberapa faktor. Di
antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain
seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau
revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim,
peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang
menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan
komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat
masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam
dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru;
rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan;
hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasa,
Urbanisasi adalah perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi
kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan
menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah
peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan
jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan,
penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus
segera dicarikan jalan keluarnya.
Faktor penarik terjadinya
urbanisasi adalah kehidupan kota yang lebih modern, sarana dan prasarana kota
lebih lengkap, banyak lapangan pekerjaan di kota, Pendidikan sekolah dan
perguruan tinggi lebih baik dan berkualitas. Sedangkan faktor pendorong
terjadinya urbanisasi adalah Lahan pertanian semakin sempit, merasa tidak cocok
dengan budaya tempat asalnya, menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan
di desa, terbatasnya sarana dan prasarana di desa, diusir dari desa asal,
memiliki impian kuat menjadi orang kaya. Keuntungan dari urbanisasi yang dapat
diperoleh bagi masyarakat adalah memoderenisasikan warga desa, menambah
pengetahuan warga desa, menjalin kerja sama yang baik antarwarga suatu daerah,
dan mengimbangi masyarakat kota dengan masyarakat desa.
Perubahan sosial seperti di
atas terjadi seperti pada masyarakat Giligenting, pada umumnya masyarakat
Giligenting ada yang bekerja sebagai nelayan, petani dan buka toko
kecil-kecilan di rumah mereka sendiri.Namun seiring majunya teknologi dan
informasi masyarakat Giligenting hampir 70 persen penduduknya merantau ke berbagai
daerah. Hanya saja mayoritas tempat mereka mengadu nasib adalah Jakarta.
Perjalanan dari pelabuhan Tanjung
Saronggi menuju ke pulau Giligenting hanya memakan waktu setengah jam dengan menggunakan perahu bermotor, Separuh penduduk pulau Giligenting
bekerja merantau di Jakarta. Jadi saat ini, penghuni pulau Giligenting hanya
menyisakan separuh lainnya. Mereka yang ada di pulau ini mayoritas adalah kaum
wanita. Suasana jalanan di pulau Giligenting juga seperti umumnya wilayah
daratan. Beberapa kendaraan lalu lalang, dikendarai orang tua dan para remaja,
namun kendaraan yang ada di pulau Giligenting mayoritas sepeda motor dan hanya
sedikit mobil, hal ini dikarenakan sampan atau perahu hanya memuat kendaraan
motor saja, sedangkan perahu untuk memuat mobil menggunakan perahu khusus.
Jumlah penduduk Masyarakat
Giligenting sampai bulan Agustus 2010 secara keseluruhan berjumlah 26.483 jiwa,
jumlah peduduk laki-laki yaitu 12.390 jiwa, sedangkan jumlah
perempuannnya yaitu 14.093 jiwa, sex ratio sebesar 87,92, sedangkan jumlah
Kepala Keluarga sebesar 7.899. Sentra perekonomian warga Giligenting pada
umumnya adalah pasar-pasar yang ada di setiap desa. Mata pencaharian pada
keadaan sekarang bagi penduduk yang tidak merantau ke Jakarta adalah nelayan dan
sedikit yang bertani. Jadi wajar saja, aneka jualan yang tersedia di
pasar-pasar mayoritas adalah ikan. Di pasar inilah, setiap harinya warga
berduyun-duyun datang untuk mencari kebutuhan keseharian.
Sebelum melakukan urbanisasi atau
merantau ke kota, pada umumnya kehidupan masyarakat Giligenting adalah nelayan,
berlayar, dan hanya sedikit yang menjadi petani. Untuk para nelayan, masyarakat
hanya mencari atau menangkap ikan di sekitar kawasan pulau saja, tidak sampai
keluar daerah dengan menggunakan perahu cadik.Setelah itu hasil tangkapan
nelayan diserahkan kepada para wanita yang ada di rumah mereka masing-masing,
kemudian dijual ke pasar-pasar ada juga yang hanya untuk di makan sendiri
bersama keluarganya.
Sedangkan untuk penduduk yang berlayar
Sebelum terjadinya urbanisasi ke kota, berlayar merupakan pekerjaan mayoritas
dari pekerjaan yang lainnya, hampir seluruh warga laki-laki remaja dan dewasa
berlayar, mereka melakukan pelayaran dari pulau Giligenting ke daerah
Kalimantan, Sumatera, dan Jawa Tengah. Mereka menggunakan perahu atau kapal
kayu yang besar dan terdiri dari beberapa orang yang mempunyai tugas
masing-masing, biasanya satu kapal terdiri dari 6 sampai 7 orang. Kapal-kapal
mereka biasanya mengangkut barang-barang berupa kayu atau barang-barang
kebutuhan hidup lainnya. Mereka berlayar dengan waktu sangat lama, sekitar Enam
Bulan sekali mereka baru pulang ke kampung halaman masing-masing. Hal ini
dikarenakan adanya angin yang kencang, sehingga untuk menunggu angin kembali
normal para pelayar pulang ke kampung halamannya.
Keadaan seperti ini
berlangsung sampai dengan sekitar tahun 1990-an, dengan beriringnya waktu
penduduk Giligenting sudah mulai banyak berhenti dari aktivitas pelayarannya
dan menetap di darat. Kemudian melakukan urbanisasi ke kota-kota besar seperti
Jakarta, Tegal, Cirebon, Pekalongan,Serang (Jawa Barat) dan sekarang merambat
ke jawa timur terutama di Surabaya
Pada mulanya hanyalah penduduk
laki-laki saja yang merantau, sedangkan yang perempuan berada di rumah untuk
mengurus keluarganya. Perlahan dan pasti, kehidupan mereka di sana membuka
usaha toko kelontongan atau istilah mereka adalah warungan baik tempat menyewa
maupun milik sendiri. Baru sekitar tahun 1998-an kaum perempuan mulai ikut
merantau ke kota-kota besar tersebut. Maka sejak itulah terus berkembang hingga
sekarang dan menjadikan warungan tersebut sebagai mata pencaharian masyarakat
Giligenting.
Ketika para perantau berhasil
banyak yang memiliki tempat tinggal sendiri dan jarang pulang, karena hampir
seluruh keluarganya di boyong dan anaknya disekolahkan di Jakarta, hal ini
membuat volume pulang kampung pada bulan Ramadhan yang tahun-tahun sebelumnya
menjadi tradisi, mulai berkurang dan mereka sudah terbiasa tidak merayakan
lebaran di kampung halamannya.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Urbanisasi
Penyebab warga Giligenting melakukan
urbanisasi adalah bukan hanya alasan ekonomi yang memadai di sana. Namun juga
lebih karena, putra-putri Giligenting sudah 'mentok’ untuk mencari penghidupan
di Giligenting, alias tak ada lapangan pekerjaan yang bisa mencukupi Kebuntuan
lapangan kerja di Giligenting itu terjadi hampir di seluruh sektor. Hampir semua
sektor kurang mendukung, mulai dari pertanian, nelayan, apalagi dagang di
Giligenting. Untuk pertanian, terbentur dengan lahan kering/tandus, apalagi
pertanian di Giligenting hanya bergantung pada tadah hujan setiap tahunnya.
Kemudian nelayan, masih terjadi secara manual (memancing dengan seutas tali
pancing) dan juga menggunakan jaring, yang hasilnya hanya cukup untuk makan
sehari-hari bersama keluarga dan sebagian dijual di pasar-pasar.
Peluang dagang di Giligenting juga
semakin sempit.Sebab lebih banyak yang dagang ketimbang yang mau beli. Di sisi
lain, peluang kerja sebagai pelayaran (berlayar dengan perahu Pelra)
Kalimantanan (Kalimantan - Jakarta), saat ini sudah pupus total atau sudah
hampir tidak ada yang bekerja sebagai pelayar tersebut, sejak pemerintah pusat
melarang adanya penebangan hutan di Kalimantan.Fenomena ini menjadikan banyak
putra-putri bahkan para orang tua Giligenting yang lari ke Jakarta, jadi pelaku
usaha warung klontong. Diperkirakan saat ini ada 6000 lebih warga Giligenting
di Jakarta.
Dampak terhadap masyarakat Keadaan
masyarakat Giligenting setelah berada di Jakarta dan ketika pulang
kampung justru kini mengalami penyakit gengsi. Dalam artian, orang yang
merantau terutama ke Jakarta menganggap dirinya adalah lebih tinggi baik dari
sisi ekonomi maupun penampilan.Tak heran sebagian mereka bila pulang kampung
menampakkan dirinya hebat, modis dan royal. Padahal kesehariannya di kota
rantau mereka berpeluh kuning untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang
dijadikan mata pencahariannya, yaitu jualan bahan sembako.
Karena bertaruh gengsi, yang
dilakukan masyarakat Giligenting adalah bagaimana menunjukkan sesuatu yang
mewah. Ambil contoh misalnya dalam acara pesta perkawinan, orang yang bekerja
di Jakarta, biasanya berusaha melakukan hajatan sakral anak atau dirinya
semeriah mungkin tanpa memperhatikan efek setelahnya. Dalam artian, mayoritas
mereka menginginkan kemeriahan sementara ada sebagian kemampuannya pas-pasan.
Tapi apa boleh buat bila gengsi sudah merasuki jiwanya sehingga berhutang pun
tak jadi masalah, yang penting meriah dan disanjung oleh para tetangganya.
Akibat dari banyaknya penduduk
Giligenting yang merantau di Jakarta adalah sistem gotong-royong di kampung
halaman semakin berkurang, karena kebanyakan hanya dihuni para orang tua dan
anak-anak. Gaya bahasa orang-orang yang merantau juga berubah, mereka lebih
banyak menggunakan bahasa Jakarta khususnya Betawi daripada bahasa Madura yang
merupakan bahasa asli mereka. Hal seperti ini secara otomatis juga berpengaruh
terhadap gaya kehidupan mereka setelah pulang ke kampung halaman. Kebanyakan
mereka setelah di kampung hidupnya mewah, “ dalam artian, mereka rela
mengeluarkan uang berapapun demi tercapai keinginannya dan juga agar dihormati
oleh para tetangga mereka. Namun, meskipun keadaan seperti ini mereka tetap
diterima dikalangan masyarakat seperti mana mestinya.